Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Konstitusi. Ya, mungkin kalian para pembaca sudah mengetahui apa itu konstitusi secara harfiahnya. Tapi saya mengambil dari Wikipedia tentang apa itu arti konstitusi. Konstitusi : dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara - biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis - Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara. Wih, panjang bener. tetapi sebenarnya yang harus digaris bawahi disini adalah konstitusi itu merupakan sebuah aturan dasar dalam sebuah negara.

Negara kita punya UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi yang sah dan berlaku di negara Indonesia ini. Tentu saja awalnya konstitusi ini dibuat dan dibentuk oleh para pendiri negeri ini untuk mewujudkan cita-cita negeri ini yang sudah termaktub dalam pancasila maupun pembukaan UUD 1945. Namun, akhir-akhir ini kita dicengangkan oleh beberapa kasus korupsi yang dikuak oleh KPK dimana kasus korupsi tersebut melibatkan aparatur negara yang seharusnya mereka itulah yang menjalankan Konstitusi dengan baik sebagai contoh kepada masyarakat Indonesia. Contoh, kasus kemarin yang baru saja menimpa Ketua MK Akil Muchtar yang dipergok oleh KPK dengan barang bukti $300.000. Seharusnya Bapak Akil tersebut tidak tergiur oleh kemolekan korupsi karena gaji seorang ketua MK mencapai Rp.100 Juta/bulan. Wow! Duh, manusia-manusia. Memang kodratnya seperti itu. Sudah diberi lebih masih kurang. Dan kasus ini menjadi tamparan yang sangat keras bagi pemerintahan kita. Karena baru kali ini seorang ketua dari lembaga negara ditangkap apalagi tertangkap basah menerima suap.

Hal tersebut semakin menghapuskan empati masyarakat terhadap pemerintah. Tingkat kepercayaan masyarakat semakin menurun terhadap apa yang dikerjakan pemerintah dan orang yang terlibat di dalamnya. Dan mungkin suatu saat nanti negeri ini akan krisis 'Kepercayaan'  terhadap pemerintahannya sendiri. Mungkin hal ini masih belum terasa sekarang. Tetapi bila kedepannya hal ini terus terjadi, mungkin saja akan terjadi pemberontakan rakyat terhadap rezim yang berkuasa nantinya. Oleh karena itu, penulis berharap sebagai warga Indonesia khususnya agar kedepannya lahir pemimpin-pemimpin baru yang bersih dan peduli terhadap kepentingan rakyat sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah naik kembali dan tidak menyebar anekdot yang mengatakan "Konstitusi? Siapa peduli!".

Cirebon 14 Oktober 2013
Import, yah mungkin kata tersebut sudah tidak asing lagi bagi kita atau mungkin membosankan. Khususnya sebagai warga negara Indonesia yang "doyan" import. Betapa tidak, dari data yang penulis telusuri menurut BPS, ( http://www.bps.go.id/exim-frame.php ), Nilai Export Indonesia sampai dengan bulan Juni mengalami defisit sebesar $ 3341882503. Hal ini menunjukkan betapa "doyannya" masyarakat negara ini mengkonsumsi produk dari luar negeri. Padahal sebenarnya, negeri ini adalah negeri yang sangat kaya. Mungkin 7 Turunan lebih pun, SDA negeri ini tidak pernah habis. Begitu juga dengan SDM kita. Negara dengan penduduk terbesar ke-5 di dunia ini seharusnya bisa menemukan orang-orang yang bisa memproduksi produk asli dari Indonesia. Tetapi penulis disini tidak akan membahas tentang Import lebih jauh, melainkan menitik beratkan kepada kebijakan pemerintah yang selama ini "mendukung" gerakan besar-besaran import dan juga habbit dari masyarakat Indonesia yang doyan import.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat lemah dan mendukung import diantaranya adalah kurangnya suppport pemerintah untuk mendukung UKM maupun para pemain "besar". Kita contoh China, di negeri tirai bambu tersebut, suatu perusahaan atau UKM sekalipun yang sudah mempekerjakan banyak pegawai dan berhasil mengekspor produknya ke luar negeri makan akan dibebaskan dari kewajiban pajak. Tetapi di Indonesia itu hal lain. Untuk masalah pajak saja, UKM maupun para pemain "besar" ini tidak diberikan keringanan pajak sekalipun. Mengenaskan lagi, untuk melakukan perizinan saja, para pengusaha ini seperti "dicekik". Para petugas meminta uang ini-dan itu. Yang efeknya, memperburuk atmosfer kewirausahaan di negeri ini. Akhirnya, para pengusaha ini bahkan ada yang "kabur" ke China! Ya, karena "cekikan" yang sangat erat tersebut tidak sedikit para pengusaha Indonesia yang membuka pabrik di sana. Mereka beralasan selain mendapat banyak "cekikan" dari berbagai oknum, membuka pabrik di China lebih menguntungkan daripada membuka pabrik di Indonesia. Karena di China Investor dianggap seperti raja. Kita tahu bahwa China Jor-joran untuk mendatangkan para Investor guna menghilangkan pengangguran pada Penduduknya yang jumlahnya terbanyak dibandingkan negara lain di dunia ini.
Selain itu juga, pemerintah yang kurang memberikan pendidikan "Kewirausahaan" yang ditanamkan di bangku Sekolah. Pendidikan kewirausahaan sekarang ini mulai muncul pada saat dimana bisa dikatakan telat. Dan ini mengakibatkan lulusan-lulusan kita tidak mempunyai jiwa wirausaha dan akibatnnya para lulusan tersebut semakin konsumtif. Hal itu bisa kita lihat dari betapa larisnya penjualan kendaraan bermotor maupun gadget bak kacang goreng.
Penulis memang hanya seorang anak muda yang masih bisa dibilang ingusan. Tetapi setidaknya penulis ingin memberikan aspirasi dan pandangannya terhadap masalah Import ini. Semoga kedepannya negeri ini bukan lagi negeri yang terus dicekoki oleh produk import, melainkan kitalah yang seharusnya mencekoki negara lain dengan produk kita.
Salam Indonesia!

Bandung, 09 September 2013
Hukum, mungkin kata itu sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Dalam konstitusi Negara kita yakni UUD, kita sudah mengetahui bahwa Negara kita Indonesia adalah Negara hukum. Dalam Undang-undang dasar pasal 1 ayat 3 tertulis bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Di  dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) secara tegas menjunjung tinggi asas persamaan di depan hukum. Hal ini mencerminkan bahwa hukum tersebut berlaku untuk siapapun dan mengikat semua kalangan tanpa adanya diskriminasi hukum itu sendiri.
Tetapi berdasarkan fakta yang ada, hukum yang seharusnya mengikat semua orang tersebut nyatanya tidak menyentuh kalangan ‘atas’. Hal ini memunculkan suatu mindset tentang hukum yakni “hukum yang tajam kebawah dan tumpul di atas”. Kita bisa lihat di berbagai media yang menayangkan berbagai ketimpangan hukum. Mulai dari nenek yang mencuri sendal, pemuda yang memotong bambu tetangga, atau kasus lainnya. Mereka dijerat hukuman yang mungkin terlalu ‘besar’ untuk sesuatu yang mereka lakukan. Bukan saya membela mereka mencuri. Tetapi faktanya para pelaku koruptor yang mencuri bermiliar-miliar uang rakyat hanya dijerat dengan hukuman yang relatif ringan. Belum lagi hukuman ringan yang diberikan kepada para koruptor itu terkesan ‘dibuat-buat’. Semestinya, para koruptor tersebut dihukum seberat-beratnya agar mereka jera. Ini membuat seolah-olah hukum di Negara ini hanya bernilai semantik belaka, yakni hanya sekedar formalitas untuk menyembunyikan kekuasaan politik.
Dari fakta yang ada di atas, hal ini berbanding terbalik dengan konstitusi Negara yang seharusnya mencegah dari kecenderungan adanya penyalahgunaan hukum dari penguasa. Pelaksanaan carut marutnya konstitusi di negeri ini harus segera di selesaikan. Sebaiknya, semua pihak baik penguasa maupun masyarakat ikut andil dalam memperbaiki carut marutnya pelaksanaan konstitusi di negeri ini. Karena pada dasarnya, carut marutnya pelaksanaan konstisusi di negeri ini sebenarnya juga berasal dari masyarakat itu sendiri, tidak hanya penguasa. Masyarakat juga banyak yang melanggar hukum karena alasan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Hal ini menimbulkan kebrutalan rakyat dan menjadikan mereka ‘mudah’ melakukan tindakan yang melanggar hukum itu sendiri.
Terlepas dari semua permasalahan di atas, saya berharap kedepannya, pelaksanaan konstitusi di Negara ini khususnya di bidang hukum semakin baik dan tidak lagi tumpul ke atas, tetapi meruncing di semua sisi.

Bandung, 2 Januari 2013
Menjamurnya bimbel di banyak daerah mungkin disambut baik oleh para orang tua. mereka bisa memasukkan anak mereka untuk berharap setidaknya anak mereka meraih prestasi yang lebih baik. Tapi paradigma itulah yang membuat para guru menjadi “malas” mengajar. Banyak guru disekolah-sekolah yang mengajar dengan hanya datang, tulis rumus, kasih soal masalah beres. Padahal sesungguhnya murid membutuhkan bimbingan. tidak hanya sekedar guru menerangkan lalu murid pintar.
Dan lebih parahnya lagi, anak SD yang pada dasarnya tidak memerlukan bimbel karena pelajaran yang mereka pelajari itu tergolong simpel, malah muncul trend anak SD berbondong-bondong masuk bimbel. masa, guru yang mengajar tidak mampu mengajarkan secara maksimal materi sekolah dasar  terhadap siswa? walupun alasan klasik bisa dijadikan alasan seperti “Tidak semua siswa kalau diajar itu ngerti” atau alasan lainnya itu seharusnya tidak menjadi masalah. Toh, tugas guru itu digaji ya untuk mengajar siswa supaya minimal memahami tentang suatu mata pelajaran tertentu
Paradigma diatas juga membuat siswa yang kurang kemampuan finansialnya akhirnya terpinggirkan. mereka terkalahkan oleh kekuatan finansial teman mereka yang bisa mendapatkan “pelajaran tambahan” dibimbel tersebut. mereka juga tidak mengetahui bagaimana trik trik untuk menjawab soal-soal dalam UN maupun SBMPTN. dan akhirnya siswa yang tidak les itu tidak masuk perguruan tinggi atau sekolah yang favorit. Hal ini berlainan dengan UUD 1945 pasal 31 dimana seharusnya pendidikan dapat diperoleh oleh semua kalangan tidak hanya orang-orang yang berkemampuan finansial kuat saja.
Dan coba bayangkan jikalau guru-guru tersebut sudah malas mengajar karena menganggap murid-muridnya nanti akan mengikuti bimbel di luar dan akhirnya mengajar yang "penting datang" (saya tidak menganggap semua guru seperti itu), murid ngga paham ngga jadi masalah. Inilah nanti kedepannya yang akan menjadi masalah dalam pendidikan kita. Buat apa kita bersekolah jikalau datang kesekolah tidak mendapat ilmu apapun dan akhirnya masuk bimbel? untuk apa guru digaji kalau ngajar seenaknya?

Bandung, 03 September 2013